MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID | Jakarta – Pertanyaan :
- Apakah tindakan sepihak bank yang mengubah pola angsuran tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan perbankan.
- Perubahan sepihak ini secara hukum dikategorikan pidana/perdata.
- Apakah dimungkinkan apabila kami untuk menempuh langkah hukum.
Dewan Pimpinan Pusat Pesuli Nusantara Tunggal berpendapat bahwa, dalam pinjaman dengan skema bunga flat, besar cicilan dipatok sama selama tenor kredit atau jangka waktu pinjaman.
Sedangkan bunga dihitung berdasarkan pokok utang keseluruhan, bukan memperhitungkan besar pokok utang yang sudah dibayarkan (hal. 23).
Dalam rumus perhitungan bunga anuitas, besar cicilan setiap bulan akan bernilai sama.
Akan tetapi, komposisi pokok pinjaman dan bunga utang akan berubah-ubah setiap bulan.
Selama jangka waktu kredit, porsi bunga pinjaman akan dibebankan lebih banyak di awal-awal periode angsuran. Sedangkan porsi pembayaran pokok utang dibebankan lebih banyak di belakang (hal. 28).
Berdasarkan uraian di atas, maka metode angsuran flat dengan anuitas memang berbeda.
Untuk metode angsuran flat, pengembalian pokok dan bunganya sama setiap bulan, sedangkan metode angsuran anuitas, besar cicilan tiap bulan sama dengan komposisi cicilan pokok dan bunganya berubah-ubah.
Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit dan Langkah Hukum
Sebelumnya perlu Anda pahami terlebih dahulu ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU Perbankan”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU 10/1998”).
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Bahwa bank yang memberikan kredit yang dimaksud termasuk bank umum.
Dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
Bahkan dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 10/1998 disebutkan :
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur.
Pemberian kredit ini dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.
Merujuk pada Lampiran Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum (“POJK 42/2017”), menyebutkan setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit harus dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis. (hal. 26).
Perjanjian kredit tersebut ditetapkan oleh masing-masing bank dengan paling sedikit memperhatikan hal-hal sebagai berikut (hal. 26) :
- Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank.
- Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit atau pembiayaan, dan persyaratan kredit atau pembiayaan lain sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit atau pembiayaan.
Sehingga, dapat diartikan bahwa bank yang secara sepihak mengubah jenis pola angsuran kredit yang telah disepakati sebelumnya dalam perjanjian kredit, termasuk cidera janji atau wanprestasi.
Hal ini mengingat bahwa sebelum dilakukannya pemberian kredit, telah dilakukan analisis kredit yang disesuaikan dengan jumlah dan jenis kredit pada setiap permohonan kredit.
Subekti dalam buku Hukum Perjanjian, menerangkan bahwa wanprestasi (kelalaian/kealpaan) dapat berupa
(hal. 45) :
a.Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b.Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c.Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d.Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) menegaskan bahwa debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Pasal 1243 KUH Perdata menerangkan bahwa penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
Sehingga, dapat mengajukan ganti biaya, kerugian, atau bunga setelah bank tetap saja lalai, padahal telah dinyatakan lalai melalui surat perintah atau akta sejenis itu atau berdasarkan perjanjian kredit itu sendiri.
Kami sarankan untuk terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan dengan pihak bank ini secara kekeluargaan, sebelum memutuskan untuk menggugat secara perdata ke pengadilan.
Kejahatan Perbankan.
Kejahatan perbankan dapat merujuk pada Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A UU 10/1998, dalam arti perbuatan-perbuatan tersebut akan dikenakan ancaman hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan apabila hanya sekadar sebagai pelanggaran.
Hal ini mengingat bahwa bank adalah lembaga yang menyimpan dana yang dipercayakan masyarakat kepadanya, sehingga perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada dasarnya juga akan merugikan bank maupun masyarakat, perlu selalu dihindarkan.
Perubahan jenis pola angsuran kredit yang dilakukan dalam arti dengan sengaja mengubah pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, diklasifikasikan sebagai kejahatan perbankan, jika :
Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang sengaja mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda minimal Rp10 miliar dan maksimal Rp200 miliar.
Terhadap perbuatan ini, Bank Indonesia juga dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank atau pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.
Sanksi administratif yang dimaksud, antara lain:
a.Denda uang.
b.Teguran tertulis.
c.Penurunan tingkat kesehatan bank.
d.Larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring.
e.Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan.
g.Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia.
pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.
Dasar Hukum :
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum.
Referensi :
- Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Kredit Pemilikan Rumah (KPR), diakses pada 19 Juni 2020, pukul 13.39 WIB;
- Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa, 2005.
(Arthur Noija SH/Tim/Red)