Scroll untuk baca artikel
Example 350
Example 728x250
BeritaDKI JAKARTANewsTNI

Mafia Tanah SHM yang Tidak Lagi Berharga.

×

Mafia Tanah SHM yang Tidak Lagi Berharga.

Sebarkan artikel ini
Oplus_131072

MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID | Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal berpendapat bahwa, didalam sistem hukum agraria Indonesia, Sertifikat Hak Milik (SHM) semestinya merupakan puncak tertinggi dari bukti kepemilikan yang sah atas tanah.

Sertifikat ini tak hanya diakui oleh hukum, tapi juga dihormati dalam transaksi keuangan, dijadikan jaminan di lembaga keuangan, serta menjadi simbol kepastian hukum atas hak atas tanah seseorang.

Dalam beberapa tahun terakhir, nilai dan kehormatan itu terkikis perlahan. Dalam sejumlah kasus, sertifikat tidak lagi menjadi surat berharga ketika negara memilih diam, atau bahkan terkesan abai, dalam menghadapi keberingasan mafia tanah.

Kasus-kasus perampasan tanah dengan aktor-aktor bersenjata hukum kian marak.

Modusnya makin canggih dan mulai dari pemalsuan dokumen, manipulasi data dalam sistem elektronik pertanahan, hingga kolusi dengan oknum aparat dan pejabat.

Tidak jarang pemilik tanah yang sah, bahkan dengan SHM di tangan, tiba-tiba menerima somasi dari pihak lain yang mengaku pemilik sah berdasarkan sertifikat baru

Lebih parah, mendapati tanahnya telah dikuasai pihak ketiga yang diduga memiliki koneksi kuat dengan elite tertentu.

Pasal 33 UUD 1945 telah menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Dalam konteks pertanahan, hal ini berarti negara memiliki kewajiban untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah setiap warga negara.

Apa jadinya jika justru negara tampak pasif, atau bahkan permisif, terhadap praktik-praktik mafia tanah.

Diamnya negara bukan semata-mata berarti tidak berbuat, tetapi juga berarti mengingkari tanggung jawab konstitusional.

Seperti dialami oleh kelompok Tani PIR sejak tahun 1992 telah memiliki SHM yang berlokasi di Kabupaten Simalungun tepatnya di Desa Parhundalian Ketika korban mafia tanah harus berjuang sendiri di pengadilan dengan proses panjang, mahal, dan tidak pasti, maka negara sebenarnya telah mencuci tangan atas kewajiban dasar untuk memberikan perlindungan hukum.

Lebih ironis lagi, SHM tersebut diterbitkan berdasarkan Keputusan Kanwil Badan Pertanah Nasional Provinsi Sumatera utara di medan mafia tanah mampu memperoleh akses terhadap sistem administrasi pertanahan negara.

Bahkan mendesak Kantor Wilayah Provinsi Badan Pertanahan Nasional dimedan untuk Melaksanakan Putusan Kasasi No.546 K / TUN / 2022 tanpa melalui Permohonan Penetapan Eksekusi TUN.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik mafia tanah tidak akan tumbuh subur tanpa keterlibatan oknum aparat.
Dalam banyak kasus, pihak-pihak yang terlibat bukan hanya mafia sipil, tetapi juga oknum dari institusi penegak hukum, pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN), notaris, bahkan pejabat pemerintahan daerah.

Hukum yang seharusnya menjadi pelindung warga malah menjadi alat represi kedua kalinya bagi korban. Sudah jatuh, tertimpa palu pengadilan.
Ketiadaan tindakan tegas dan sistemik terhadap para pelaku, menjadikan kejahatan pertanahan sebagai kejahatan yang menguntungkan.

Rendahnya tingkat penuntutan terhadap mafia tanah menciptakan efek domino ,warga tidak percaya lagi bahwa hukum akan melindungi mereka, dan para pelaku semakin berani mengulangi perbuatannya.

Di titik ini, kita harus bertanya untuk siapa sebenarnya hukum pertanahan diciptakan.

Dalam teori hukum agraria klasik, sertifikat tanah adalah alat pembuktian yang “prima facie”, artinya sah dan diakui hingga dibuktikan sebaliknya.
Didesa Tonduhan kabupaten Simalungun Kecamatan Tanah Jawa. 44 orang Pemilik Sertifikat Hak Milik yang justru menjadi pihak yang harus membuktikan bahwa tanahnya bukan hasil kejahatan, seolah-olah bersalah hingga terbukti tidak bersalah.

Beban pembuktian yang timpang ini mencerminkan ketidakadilan sistemik yang menghantui sektor pertanahan Indonesia.

Lebih tragis lagi, perbankan mulai menunjukkan sikap hati-hati terhadap sertifikat tertentu karena kerap kali terlibat sengketa hukum.
Artinya, SHM sebagai surat berharga mulai kehilangan daya tawar dalam sistem ekonomi.

Jika trend ini terus dibiarkan, kita sedang menuju kehancuran asas kepastian hukum dalam hukum agraria.

  • Negara tidak bisa lagi sekadar mengumumkan program sertifikasi massal, membanggakan digitalisasi layanan pertanahan, atau menampilkan slogan-slogan populis tentang “berantas mafia tanah.”

Perlu sejumlah langkah nyata dan konsisten.

  1. Audit menyeluruh atas penerbitan sertifikat yang rawan konflik.
  2. Penguatan integritas SDM di BPN dan lembaga terkait.
  3. Mekanisme pengaduan dan penanganan cepat terhadap konflik pertanahan.
  4. Penegakan hukum tegas terhadap pelaku mafia tanah, termasuk aktor negara yang terlibat.

Negara perlu menunjukkan keberpihakan kepada korban, bukan kepada kepentingan modal atau jaringan kekuasaan yang menjadikan tanah sebagai alat akumulasi kekayaan dan kekuasaan.

Kepemilikan tanah bukan sekadar persoalan agraria, namun persoalan keadilan sosial, hak asasi manusia, dan martabat warga negara.

  1. Sertifikat Hak Milik harus kembali menjadi simbol tertinggi perlindungan hukum atas tanah.
  2. Untuk itu, negara tidak boleh lagi berdiri di pinggir lapangan sambil berpura-pura tidak tahu arah pertandingan.

Bila negara terus memilih diam, maka bukan hanya tanah yang dirampas, tetapi juga masa depan hukum dan kepercayaan rakyat terhadap negara. (Arthur Noija SH/Tim)

MABESMEDIAINVESTIGASI
Author: MABESMEDIAINVESTIGASI

MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID dalam menjalankan tugas, wajib memiliki Tanda Pengenal (Kartu Pers) yang masih aktif, Surat Tugas dan namanya tercantum dalam Box Redaksi. Laporkan segera bila ada tindakan melanggar Hukum dan Kode Etik Jurnalistik, yang mengatasnamakan MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID.

Example 300250

Tinggalkan Balasan