MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID | SIMALUNGUN – Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal jakarta Warkah tanah merupakan dokumen penting yang berisi data fisik dan yuridis bidang tanah, digunakan sebagai dasar pendaftaran tanah dan sebagai bukti kepemilikan tanah.
Dalam konteks landreform, warkah tanah ini sangat penting untuk diproses redistribusi tanah dan pengakuan hak atas tanah bagi petani.
Warkah Tanah :
Warkah tanah adalah kumpulan dokumen yang berisi informasi tentang tanah, seperti bukti perolehan hak, gambar ukur, dan surat keputusan pemberian hak.
Peran dalam Landreform :
Dalam landreform, warkah tanah digunakan untuk,
Identifikasi Tanah Objek:
Warkah membantu mengidentifikasi tanah yang akan dijadikan objek landreform, seperti tanah kelebihan batas maksimum atau tanah absentee.
Redistribusi Tanah :
Warkah digunakan sebagai dasar untuk membagi tanah kepada petani yang memenuhi syarat.
Penerbitan Sertifikat :
Warkah menjadi bukti kepemilikan tanah, sehingga dapat digunakan untuk proses penerbitan sertifikat hak atas tanah.
Landreform :
- Landreform atau pembaruan agraria adalah upaya untuk merestrukturisasi penguasaan dan pemilikan tanah agar lebih adil dan memberikan jaminan kepastian hukum bagi seluruh pemanfaatnya.
Landreform :
- Landreform, atau pembaruan agraria, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama petani yang tidak memiliki tanah.
- Landreform dilakukan dengan mengubah sistem penguasaan tanah dan memperbaiki jaminan kepastian penguasaan sumber daya agraria.
- Landreform di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UUPT) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Implementasi landreform meliputi redistribusi tanah obyek landreform kepada petani atau petani penggarap yang memenuhi syarat.
Tujuan landreform secara khusus adalah untuk meningkatkan produksi pertanian dan memperkuat hak milik serta memberi isi dan fungsi sosial pada hak milik.
Penerbitan sertifikat berdasarkan landform (bentuk lahan) dalam konteks hukum pertanahan Indonesia tidak memiliki hubungan langsung. Sertifikat tanah (Sertifikat Hak Milik/SHM) diterbitkan berdasarkan proses pendaftaran tanah yang sah, dan tidak terkait dengan jenis atau bentuk lahan. Proses ini melibatkan pengukuran tanah, verifikasi data fisik, dan pembuktian hak, bukan landform.
Redistribusi tanah bukan semata-mata agenda teknokratik, tetapi merupakan bentuk konkret kehadiran negara dalam memenuhi mandat konstitusional untuk mewujudkan keadilan sosial.
Tujuan utamanya adalah pemerataan penguasaan dan kepemilikan tanah di kalangan rakyat Indonesia, khususnya petani kecil yang selama ini berada dalam posisi marjinal.
Penerbitan SK-Kinag oleh Menteri Agraria melalui Kepala Inspeksi Agraria bukan hanya menjadi legalitas formal, tetapi juga mengandung legitimasi substantif atas pemberian hak atas tanah kepada petani.
Tanah-tanah yang dialokasikan melalui SK-Kinag dikenal sebagai “tanah Kinag” yaitu tanah hasil program landreform yang telah melalui tahapan seleksi dan verifikasi ketat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, realitas di lapangan berkata lain.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak ditemukan kasus di mana SHM tidak mampu melindungi pemilik sahnya. Gugatan, mafia tanah, hingga konflik administratif membuat SHM kehilangan wibawanya.
- Tidak sedikit pula kasus di mana SHM yang sah dipatahkan hanya karena praktik manipulatif dan penyelundupan hukum oleh pihak-pihak yang mengincar tanah tersebut.
Di tengah harapan masyarakat akan keadilan dan kepastian hukum, negara seharusnya hadir sebagai pelindung yang tegas dan adil.
Namun ironisnya, dalam konteks pertanahan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Negara justru tampak diam dan membisu, bahkan oknum ikut bermain terkesan mengabaikan saat masyarakat berhadapan dengan kekuatan gelap yang dikenal sebagai mafia tanah.
Mereka tidak bekerja sendiri. Jaringan ini ditopang oleh aktor-aktor yang memiliki akses kekuasaan dan “bersenjata hukum”.
- Dalam praktiknya, mafia tanah tidak sekadar melakukan pelanggaran administratif, melainkan melakukan perampasan hak rakyat yang dijamin oleh konstitusi.
- Pasal 33 UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Berarti negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah bagi setiap warganya. (Arthur Noija SH/Red)