Scroll untuk baca artikel
Example 350
Example 728x250
BeritaDKI JAKARTANewsTNI & POLRI

Corat Marutnya Regulasi Tanah Jauhkan Semangat dari UU Pokok Agraria.

×

Corat Marutnya Regulasi Tanah Jauhkan Semangat dari UU Pokok Agraria.

Sebarkan artikel ini

MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID | Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal yang konsen dalam bidang kebijakan publik pertanahan berpendapat bahwa, Undang-undang Pokok Agraria kini tersisih oleh undang-undang sektoral seperti kehutanan, pertambangan, dan perkebunan.

beberapa tahun tepatnya 23 tahun yang lalu cukup jelas Hakim Konstitusi Periode 2003-2008, Maruarar Siahaan menyampaikan kritik keras terhadap kekacauan regulasi pertanahan yang dinilai semakin menjauh dari semangat UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Kuatnya ego sektoral dan dominasi politik yang masih ada dalam pembentukan peraturan justru mencederai semangat konstitusi.

  • UUPA seharusnya menjadi payung hukum untuk semua urusan pertanahan.

Namun, kini malah tersisih oleh undang-undang sektoral seperti kehutanan, pertambangan, dan perkebunan.

Team Investigasi S3 PPNT, menilai berbagai peraturan presiden terkait kawasan hutan sering kali ditetapkan tanpa kajian mendalam, hanya berdasarkan penunjukan administratif yang merugikan masyarakat dan menciptakan konflik kepemilikan.

Contoh :

  • Didalam kasus di Kalimantan, di mana kantor bupati tercatat sebagai kawasan hutan hanya karena penunjukan sepihak pemerintah pusat.

Hal ini menunjukkan pengabaian terhadap prinsip konstitusional penguasaan negara atas sumber daya alam (SDA) untuk kemakmuran rakyat.

Kita telah meninggalkan prinsip dasar UUD 1945. Negara bukan pemilik, melainkan pengelola.

Team S3 PPNT menyoroti masalah nasionalisasi aset asing pasca kemerdekaan yang belum sepenuhnya dijalankan sesuai prinsip hukum internasional.

Dalam hal pengelolaan tanah aset strategis seperti :

  • Rel kereta api dan pelabuhan, dirinya mempertanyakan legalitas hak pengelolaan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan PT Pelindo.
  • Dosen program magister ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia itu juga mengkritisi lahirnya bentuk hak baru, seperti HPL yang tidak tercantum dalam UUPA.
  • Termasuk dalam hal ini, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinilainya mengabaikan putusan MK serta prinsip partisipasi publik.

Padahal idealnya, pembentukan hukum dalam negara demokrasi harus menjamin keterlibatan rakyat.

Tanpa kita sadari, kita mengalami krisis konstitusionalisme, di mana hukum hanya menjadi alat kekuasaan.

  • Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional (FH UNAS), Prof Basuki Rekso Wibowo, memberikan pengakuan reflektif terkait proses legislasi UUPA pasca reformasi.

Ternyata menurut Prof Basuki revisi terhadap sistem agraria dilakukan tergesa-gesa dan tidak partisipatif.

  • Saya akui, ini semacam ‘dosa akademik’ saya.

Revisi UUPA dilakukan tanpa partisipasi yang bermakna, hanya dalam waktu dua tahun.

  • Akibatnya, pelaksanaan di lapangan tidak terkendali.

Warisan hukum kolonial yang masih membayangi sistem agraria Indonesia. 

Contoh :

  • Peta bidang tanah era Belanda atau Gewijzigde Grondkaart yang masih digunakan sebagai acuan meski secara yuridis sudah tidak sah sejak UUPA 1960 diberlakukan.
  • Sehingga, status dari peta tersebut menjadi tidak jelas.

Memicu konflik karena dijadikan dasar klaim oleh berbagai pihak.

Isu konflik aset BUMN, terutama milik PT KAI, juga menjadi sorotan.

Lemahnya dokumentasi dan sertifikasi aset PT KAI yang menyebabkan banyak tanah milik negara ditempati secara ilegal.

Contoh :

  • Kasus misalnya pada Center Point di Medan yang akhirnya dimenangkan oleh KAI setelah melalui proses hukum yang panjang.

Menurutnya, konflik agraria tidak hanya menyangkut hukum, tapi juga sejarah, birokrasi, dan identitas budaya.

Sama halnya dengan kutipan falsafah Jawa yang menggambarkan kedekatan emosional masyarakat terhadap tanah ‘sedumuk bathuk senyari bumi, ditohi pati pecahing dodo’.

Artinya, masyarakat akan mempertahankan hak atas tanah hingga titik darah penghabisan. UUPA 1960 sendiri merupakan upaya penting dalam dekolonisasi hukum agraria, namun implementasinya belum tuntas.

Terkadang, peraturan turunannya seringkali menyimpang dari prinsip keadilan sosial.

UU ini belum sepenuhnya dijalankan. Sertifikat hak atas tanah masih menjadi ukuran utama, tanpa memperhatikan sejarah pemanfaatannya oleh masyarakat.

UU ini belum sepenuhnya dijalankan. Sertifikat hak atas tanah masih menjadi ukuran utama, tanpa memperhatikan sejarah pemanfaatannya oleh masyarakat.

Peduli Nusantara Tunggal meminta agar negara segera melakukan konsolidasi hukum agraria secara menyeluruh, dengan keberanian politik yang berpihak pada keadilan sosial.

Serta, mengapresiasi riset akademik berbasis sejarah yang dinilai mampu membuka perspektif baru dalam memahami konflik agraria di Indonesia.

  • UU Agraria 1960 tidak boleh menjadi dokumen mati.
  • Dia harus dihidupkan kembali, disesuaikan dengan konteks kekinian, namun tetap berpijak pada keadilan dan konstitusi. (Arthur Noija SH/Tim/Red)

MABESMEDIAINVESTIGASI
Author: MABESMEDIAINVESTIGASI

MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID dalam menjalankan tugas, wajib memiliki Tanda Pengenal (Kartu Pers) yang masih aktif, Surat Tugas dan namanya tercantum dalam Box Redaksi. Laporkan segera bila ada tindakan melanggar Hukum dan Kode Etik Jurnalistik, yang mengatasnamakan MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID.

Example 300250

Tinggalkan Balasan