Scroll untuk baca artikel
Example 350
Example 728x250
BeritaDaerahNewsTNI & POLRI

Istilah “Lahan Nganggur” Menteri Agraria: Antara Retorika dan Kenyataan Reforma Agraria

×

Istilah “Lahan Nganggur” Menteri Agraria: Antara Retorika dan Kenyataan Reforma Agraria

Sebarkan artikel ini

MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID | Jakarta — Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid baru-baru ini menggunakan istilah “lahan nganggur” dalam sejumlah pernyataannya kepada media. Alih-alih menggunakan istilah hukum “tanah terlantar” sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, istilah yang lebih populer dan mudah dipahami publik ini justru menuai sorotan.

Dalam regulasi agraria nasional, tanah terlantar adalah tanah yang haknya sudah diberikan kepada perorangan atau badan hukum, namun tidak dimanfaatkan atau dikuasai secara produktif sesuai fungsi sosialnya. Negara memberikan hak atas tanah seperti Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB) dengan sejumlah syarat, termasuk kemampuan investasi, penggunaan, serta pengelolaan secara aktif.

Prosedur Hukum: Dari Surat Peringatan hingga Pencabutan Hak

Berdasarkan aturan, ketika sebuah lahan tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya, pemerintah melalui BPN akan mengeluarkan surat peringatan kepada pemegang hak. Jika setelah dua kali peringatan badan usaha tersebut tidak menindaklanjuti, maka diberi kesempatan menyusun komitmen tertulis dalam akta notaris dengan tenggat waktu minimal dua tahun untuk membangun dan memanfaatkan tanah.

Apabila komitmen tersebut tidak dijalankan, maka Panitia C di BPN RI dapat mengusulkan agar lahan tersebut ditetapkan sebagai tanah terlantar. Penetapan ini kemudian diresmikan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri ATR/BPN, yang otomatis mencabut hak atas tanah tersebut dan mengembalikannya ke negara.

Namun dalam praktiknya, tidak sedikit SK pencabutan hak atas tanah ini dibatalkan oleh pengadilan, melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Fenomena ini menciptakan tanda tanya besar, meski pihak-pihak yang kritis justru enggan menyentuh isu mafia tanah atau mafia peradilan secara terbuka.

Tanah Terlantar: Untuk Siapa?

Sesuai regulasi tentang Pendayagunaan Tanah Terlantar, tanah hasil pencabutan hak tersebut menjadi objek reforma agraria. Subjek penerima telah ditentukan secara eksplisit: petani, masyarakat adat, serta masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah. Tidak ada ketentuan yang membolehkan organisasi masyarakat (ormas), lembaga keagamaan, maupun kelompok pemuda menjadi penerima langsung lahan tersebut.

Namun dalam praktiknya, terdapat dorongan politik dan lobi-lobi terselubung agar tanah-tanah eks HGU/HGB tersebut diserahkan ke Bank Tanah, sebuah lembaga negara yang juga memiliki mandat mengelola tanah untuk kepentingan strategis nasional. Ketika menteri atau pejabat ATR/BPN memiliki kedekatan dengan jajaran Bank Tanah, tidak sedikit eks tanah terlantar yang dialihkan ke sana.

Sayangnya, hingga kini belum ada transparansi publik mengenai bagaimana lahan-lahan di bawah otoritas Bank Tanah telah dimanfaatkan secara produktif. Belum terdengar adanya investor yang serius masuk, belum pula ada kabar soal pemberdayaan masyarakat. Banyak pihak justru mengkhawatirkan potensi praktik gelap dan penguasaan lahan oleh segelintir elit.

Sebaliknya, jika menteri kurang sreg dengan pendekatan Bank Tanah dan juga tidak mendorong reforma agraria, maka lahan eks tanah terlantar akan tetap mengendap di bawah penguasaan negara tanpa keberpihakan yang jelas kepada rakyat kecil. Tidak heran jika sudah hampir setahun ini, Menteri ATR/BPN tidak pernah melakukan distribusi lahan kepada rakyat, bahkan tak lagi mengajak Presiden untuk membagikan sertifikat tanah sebagaimana dilakukan sebelumnya.

Ancaman yang Tak Jadi Tindakan

Retorika agraria yang belakangan dilontarkan justru terkesan penuh ancaman. Media mem-blow up rencana penertiban tanah terlantar, namun tak diikuti realisasi. Sorotan publik dan liputan media pun menguap begitu saja—tanpa kejelasan tindak lanjut.

Beberapa pihak yang semula getol mengkritik, kini bungkam. Ada yang berspekulasi bahwa sebagian ormas dan kelompok tertentu menaruh harapan besar agar bisa menerima tanah, meski jelas tidak termasuk dalam subjek penerima sesuai regulasi. Tak jarang pula strategi akal-akalan dilakukan, seperti membentuk yayasan atau badan usaha semu, demi mengakali aturan. Praktik ini, jika terbukti, tetap merupakan bentuk pelanggaran hukum.

Kesimpulan

Reforma agraria tidak boleh dikerdilkan menjadi alat politik atau objek dagang kepentingan. Jika negara serius menegakkan prinsip keadilan agraria, maka aturan harus ditegakkan secara konsisten. Tanah-tanah yang telah ditelantarkan harus kembali kepada rakyat yang membutuhkan—bukan kepada lembaga-lambaga yang hanya mengganti nama tanpa mengganti motif.

Ketua Lembaga KPK-RI-Lampung(D.N, red)

MABESMEDIAINVESTIGASI
Author: MABESMEDIAINVESTIGASI

MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID dalam menjalankan tugas, wajib memiliki Tanda Pengenal (Kartu Pers) yang masih aktif, Surat Tugas dan namanya tercantum dalam Box Redaksi. Laporkan segera bila ada tindakan melanggar Hukum dan Kode Etik Jurnalistik, yang mengatasnamakan MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID.

Example 300250

Tinggalkan Balasan