Scroll untuk baca artikel
Example 350
Example 728x250
BeritaDKI JAKARTANews

Surat Keterangan Tanah sebagai Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia.

×

Surat Keterangan Tanah sebagai Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia.

Sebarkan artikel ini
oplus_32

MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID | Jakarta – Tanah-tanah yang telah diberikan kepada para petani dalam rangka pelaksanaan program landreform dengan cara meredistribusikannya merupakan suatu kebijaksanaan pemerintah dalam memeratakan kepemilikan tanah kepada warga Negara Indonesia.

Pemberian hak-hak atas tanah kepada para petani melalui redistribusi ini dilakukan oleh menteri Agraria dengan cara mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria (Sk-Kinag) sebagai dasar bukti pemberian tanah-tanah tersebut dan bukti kepemilikan atas tanah-tanah yang diterima oleh para petani.

Tanah-tanah yang diberikan berdasarkan SK Kinag ini dikenal sebagai tanah-tanah Kinag, yang dalam pengertiannya adalah tanah-tanah yang diperoleh para petani melalui surat keputusan Kepala Inspeksi Agraria atas tanah-tanah dalam rangka pelaksanaan landreform, dan pelaksanaan pemberian ini dilakukan dengan meredistribusikan tanah-tanah.

“Bagi para petani yang telah memperoleh hak atas tanah dengan SK-Kinag, harus melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah dan melakukan tindakan-tindakan sebagaimana disebutkan dalam syarat-syarat untuk menerima tanah-tanah Sk-Kinag ini.

Bagi para petani yang tidak melaksanakan ketentuan dan syarat dari tanah-tanah Sk-Kinag ini sesuai ketentuan yang telah diatur bagi penerima Sk-Kinag, maka SK-Kinag ini dibatalkan dan tanah dapat dimiliki oleh orang lain dengan cara mengajukan permohonan hak atas tanah kepada instansi yang berwenang sehingga terdapat hak-hak pihak lain dengan timbul bukti sertipikat hak atas tanah di atas tanah petani yang diberikan berdasarkan SK-Kinag ini.

Dewan Pimpinan Pusat Peduli Nusantara Tunggal yang konsen di bidang kebijakan publik pertanahan berpendapat bahwa, SKT termasuk alas hak pada yang umumnya digunakan sebagai syarat dalam proses permohonan penerbitan sertifikat tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Pasca dikeluarkannya Surat Edaran Mentri ATR/BPN No. 1756/15.I/IV/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat, Surat Keterangan Tanah (SKT) tidak diperlukan lagi dalam proses pendaftaran tanah. Sehingga berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan Surat Edaran tersebut, Menteri Agraria dan Tata Ruang memberikan kemudahan untuk percepatan pendaftaran tanah masyarakat, tidak lagi dicantumkan surat keterangan tanah sebagai syarat penyertipikatan seperti yang diatur dalam Pasal 76 ayat (3) huruf b Permenag No.3 tahun 1997 yang menyatakan bahwa ketika tidak lengkap atau sama sekali tidak mempunyai dasar penguasaan dan/atau bukti kepemilikan, maka cukup dibuktikan dengan surat pernyataan sebagaimana yang terlampir dalam Surat Edaran tersebut.

Berdasarkan Surat Edaran Nomor 1756/15.I/IV/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat yang dalam instruksinya menyebutkan bahwa “ Dalam hal dasar penguasaan dan/atau bukti kepemilikan tanah masyarakat tidak lengkap atau sama sekali tidak mempunyai dasar penguasaan dan/atau bukti kepemilikan tanah agar dibuktikan dengan surat pernyataan tertulis tentang penguasaan fisik bidang tanah dengan tikad baik dari yang bersangkutan” maka dapat disimpulkan bahwa dalam hal pendaftaran tanah yang sebelumnya mensyaratkan Surat Keterangan Tanah yang dibuat oleh Kepala Desa/Lurah (SKT) apabila tidak memiliki dokumen untuk membuktikan adanya hak yang bersangkutan, setelah keluarnya surat edaran tersebut dapat dibuktikan dengan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik dan ditegaskan pula pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 Pasal 97 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran tanah bahwa “ Surat Keterangan Tanah ,Surat Keterangan Ganti Rugi, Surat Keterangan Desa dan lainnya yang sejenis yang dimaksudkan sebagai Surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa/lurah/camat hanya dapat digunakan sebagai petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah.

Disisi lain jika surat keterangan tanah hanya dapat digunakan sebagai petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah maka akan muncul berbagai permasalahan baru.

Surat Keterangan Tanah tidak memiliki kedudukan hukum lagi di dalam undang-undang.

Berdasarkan sistem publikasi negatif yang tertendensi positif (sistem publikasi campuran) yang digunakan oleh Negara Indonesia, sertifikat tanah bukanlah alat bukti yang mutlak, hanyalah alat bukti yang kuat dan kapan saja dapat dilakukan gugatan terhadap sertifikat tersebut, tidak memberikan kepastian hukum bagi pemegang sertifikat sehingga berpotensi dapat dibatalkan begitupun dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang bisa dikatakan sebagai alat bukti kepemilikan tanah dalam hal pembuktian kepemilikan tanah. Dengan berubahnya fungsi surat keterangan tanah yang hanya dijadikan sebagai petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah yang digantikan dengan surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah sebenarnya tidak masalah.
Hal ini dikarenakan dalam format,- surat pernyataan penguasaan fisik juga mencantumkan batas-batas tanah yang menjadi dasar dan selama batas-batas tanah tersebut diakui oleh pihak terkait dan persaksikan oleh saksi-saksi.

Dalam UUPA sertifikat adalah bukti kepemilikan hak atas tanah yang sah. Diterbitkannya sertifikat untuk menjamin kepastian hukum atas hak-hak atas tanah, penerbitan sertifikat berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Sertifikat diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai produk akhir dari kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya.

Dalam sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh UUPA adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif yang maksudnya adalah :

  • Sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, bukan sebagai alat pembuktian yang mutlak. Kuat dimaksudkan disini merupakan ciri sistem publikasi negatif.
  • Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak, bukan sistem pendaftaran akta. Sistem pendaftaran hak, merupakan ciri sistem publikasi positif.
  • Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat.

Hal ini merupakan ciri dari sistem publikasi negative Sertifikat sebagai alat pembuktian haruslah memberikan jaminan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah seperti pada Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 memuat penjelasan terkait arti alat pembuktian yang kuat.

Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam artian selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum ddalamnya harus diterima sebagai data yang benar dan tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan.

Apa yang dijelaskan di atas dapat dilihat dalam UUPA yang menganut pembuktian sertifikat sebagai tanda bukti sah otentik yang memuat tanda bukti hak atas tanah, sebagaimana diatur dalam UUPA pasal 19 tentang pendaftaran tanah guna menjamin kepastian hukum, pasal 23 tentang hak milik setiap peralihan,hapusnya, hak hak lain harus didaftarkan beserta pembebanan haknya.

Salah satu tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah , dengan tujuan :

  1. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
  2. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
  3. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XIX/202 dalam pengujian Pasal 23 ayat (1) UUPA yang bertentangan dengan UUD 1945 disebutkan demi memperoleh kepastian hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah (dalam hal ini hak milik), setiap perbuatan hukum yang menyangkut peralihan atau pembebanannya menjadi tidak sah jika tidak dilakukan pendaftaran pada instansi yang berwenang yang telah ditentukan.

Selain itu, ketentuan tersebut juga merupakan suatu keharusan yang harus dilewati sesuai dengan proses dan prosedur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang- undangan.

Sementara itu, terkait dengan kuitansi yang didalilkan Pemohon sudah cukup menjadi bukti kepemilikan menurut Mahkamah hal tersebut tidak tepat.

  • Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan kuitansi hanyalah bukti pembayaran atau transaksi, bahkan akta jual beli yang dibuat di hadapan PPAT pun, , belum dapat dinyatakan sebagai bukti kepemilikan karena baru sebagai salah satu syarat adanya peralihan hak.
  • Bukti kepemilikan yang sah atas tanah adalah sertifikat hak atas tanah karena melalui pendaftaran tanah akan dapat diketahui tentang siapa pemegang hak atas tanah, kapan diperalihkan hak atas tanah.

tersebut, dan siapa pemegang hak yang baru, termasuk juga jika tanah tersebut dibebani hak tanggungan. Jika kuitansi saja yang dijadikan dasar kepemilikan hak atas tanah, justru hal ini dapat mengaburkan esensi kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah, yang pada akhirnya justru merugikan perbankan sebagai pihak yang memberikan pinjaman atau kredit.

  • Pendaftaran atas sebidang tanah dilakukan agar mendapatkan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah maupun pihak lain yang berkepentingan dengan tanah. Dengan telah melakukan pendaftaran dan mendapatkan sertipikat, pemegang hak atas tanah memiliki bukti yang kuat atas tanah tersebut.
  • UUPA mengatur bahwa pemerintah mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah.

Jika dikemudian hari terjadi tuntutan hukum di pengadilan tentang hak kepemilikan atas tanah, maka semua keterangan yang dimuat dalam sertipikat hak atas tanah itu mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan karenanya hakim harus menerima sebagai keterangan-keterangan yang benar, sepanjang tidak ada bukti lain yang mengingkarinya atau membuktikan sebaliknya.

Tetapi jika ternyata ada kesalahan didalamnya, maka diadakan perubahan/pembetulan seperlunya. Dalam hal ini yang berhak melakukan pembetulan bukanlah pengadilan melainkan instansi yang menerbitkannya yakni Badan Pertanahan Nasional yang selanjutnya disebut BPN dengan jalan pihak yang dirugikan mengajukan permohonan perubahan sertipikat dengan melampirkan surat keputusan pengadilan yang menyatakan adanya kesalahan dimaksud.

  • Sertifikat hanya merupakan tanda bukti yang kuat dan bukan merupakan tanda bukti yang mutlak atau sempurna menurut ketentuan UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah maupun Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Perubahan PP Nomor 10 1961.

Hal ini berarti bahwa keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima oleh hakim sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya.

Selain itu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah berusaha mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif pendaftaran tanah dengan mengukuhkan lembaga “recthsverweking” yang dikenal dalam hukum adat melalui yurisprudensi dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah tersebut.

Terkait dengan hal tersebut, maka dalam hal ini,- perlu dikemukakan ketentuan Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yaitu:

  • Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
  • Dengan dasar ketentuan Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tersebut, maka sertifi kat merupakan alat pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan adalah dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya, meskipun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem publikasi negatif.

Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas perlindungan yang seimbang, baik kepada pihak yang mempunyai tanah yang dikuasai serta digunakan sebagaimana mestinya maupun kepada pihak yang memperoleh dan menguasainya dengan itikad baik dan dikuatkan dengan pendaftaran tanah yang bersangkutan.

Dalam asas negatif tersebut, sungguhpun hanya terbatas hanya 5 tahun, adalah yang terbaik dalam pendaftaran tanah.
Artinya, berdasarkan ketentuan Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah diatas, pada dasarnya sistem publikasi negatif di Indonesia hanya berlaku untuk 5 Tahun.

Setelah sertipikat dikeluarkan selama 5 tahun oleh pejabat yang berwenang dan secara itikad baik pemegang sertifikat mendapatkan, dan menguasai tanah secara nyata, maka sistem publikasi menjadi positif.

Status Hak Atas Tanah Yang Tidak Tunduk Pada UUPAMenurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang bisa menjadi objek pendaftaran tanah adalah :

  1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai;
  2. Tanah Hak Pengelolaan;
  3. Tanah Wakaf;
  4. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun;
  5. Hak Tanggungan;
  6. Tanah Negara. Namun suatu fakta menunjukkan bahwa didalam masyarakat masih terdapat Hak Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht serta hak penduduk asli atau bumi putera yang tunduk pada Hukum Adat yang tidak mempunyai bukti tertulis, yang dipunyai penduduk setempat yang disebut tanah adat misalnya Tanah Hak Ulayat, Tanah Milik Adat, Tanah Yasan, Tanah Gogolan dan lainnya.

Konversi bekas hak-hak atas tanah merupakan salah satu instrumen untuk memenuhi asas unifikasi hukum melalui Undang-Undang,-

Nomor 5 Tahun 1960. Peraturan Menteri Pertanahan dan Agraria (PMPA) Nomor 2 Tahun 1962 mengatur ketentuan mengenai penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah secara normatif.

Peraturan konversi tersebut merupakan implementasi ketentuan peralihan Undang- undang Nomor 5 Tahun 1960.

Dengan berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UUPA) maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat, maka untuk dapat masuk ke dalam sistem UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga konversi. Khusus untuk tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat tetapi tidak terdaftar dalam ketentuan konversi sebagai tanah yang dapat dikonversikan kepada sesuatu hak atas tanah menurut ketentuan UUPA, tetapi diakui tanah tersebut sebagai hak adat, maka ditempuhlah dengan upaya “Penegasan Hak” yang diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah setempat dikuti dengan bukti pendahuluan seperti bukti pajak, surat jual-beli yang dilakukan sebelum berlakunya UUPA dan surat membenarkan tentang hak seseorang dan menerangkan juga tanah itu untuk perumahan atau untuk pertanian dan keterangan kewarganegaraan orang yang bersangkutan.

Dalam UUPA terdapat 3 (tiga) jenis konversi :

  1. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah hak barat,
  2. Konversi hak atas tanah, berasal dari hak Indonesia,
  3. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas Swapraja.

Adapun hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat adalah :

  1. Hak Agrarisch Eigendom,
  2. Tanah hak milik, hak yasan, andar beni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini.
  3. Grant Sultan, grant lama
  4. Landrerijen bezitrecat, Altijddurende Erfpacht, Hak – Hak Usaha Atas Bekas Tanah Partikelir.

(Arthur Noija SH/Tim/Red)

MABESMEDIAINVESTIGASI
Author: MABESMEDIAINVESTIGASI

MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID dalam menjalankan tugas, wajib memiliki Tanda Pengenal (Kartu Pers) yang masih aktif, Surat Tugas dan namanya tercantum dalam Box Redaksi. Laporkan segera bila ada tindakan melanggar Hukum dan Kode Etik Jurnalistik, yang mengatasnamakan MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID.

Example 300250

Tinggalkan Balasan