MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID | Jakarta -Penggelapan merupakan salah satu tindak pidana yang disebut dalam Pasal 2 ayat (1) UU 8/2010.[2] Jadi, jika ada tanah hasil tindak pidana penggelapan yang dialihkan kepemilikannya, maka pelakunya dapat dikenakan Pasal 3 UU 8/2010.
Â
Berdasarkan penjelasan tersebut jika seseorang menggelapkan tanah dan mengalihkan hak miliknya menjadi milik pribadi, tindakan pengalihan hak milik tanah menjadi milik pribadi tersebut baru dikatakan penggelapan saja.
Akan tetapi, jika tanah yang telah menjadi miliknya akibat tindak pidana penggelapan tersebut ia pindahtangankan, misalnya dengan dijual, maka tindak pidananya kemudian menjadi pencucian uang.
Â
Contoh Kasus.
Sebagai dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1431/ Pid.B/2015/PN.Jkt.Sel, dimana terdakwa telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana penggelapan dengan pemberatan kemudian diteruskan dengan TPPU.
Dimana perbuatan tersebut dilakukan dengan cara menggelapkan uang perusahaan tempat terdakwa bekerja. Kemudian uang hasil penggelapan tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa seperti membeli rumah apartemen, mobil dan membiayai teman dekat terdakwa.
Atas perbuatan terdakwa tersebut majelis hakim mejatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka digantikan dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.
Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai White Collar Crime.
Menurut Yunus Husein, Ketua Umum STHI Jentera dalam presentasinya mengenai Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana (Asset Recovery) dan Corporate Criminal Liability, di STHI Jentera Jakarta pada 22 Februari 2017, TPPU merupakan salah satu bentuk financial crime. Financial Crime itu umumnya merupakan white collar crime.
Jay S. Albanese dalam bukunya Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime): Akar dan Perkembangannya, (hal.6) mendefinisikan white collar crime sebagai kejahatan kerah putih atau kejahatan organisasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan terorganisasi adalah sebuah upaya yang terus ada dan beroperasi secara rasional untuk mengeruk keuntungan dari aktivitas illegal yang sering kali sangat dibutuhkan masyarakat.
Eksistensinya terus dijaga dengan menggunakan kekerasan, ancaman, kontrol monopoli, dan/atau menyuap para pejabat pemerintah.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Jay S. Albanese bahwa banyak persamaan antara kejahatan terorganisasi dengan kejahatan kerah putih atau kejahatan organisasi.
Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan penting antara kejahatan terorganisasi dan kejahatan organisasi (kerah putih).
Perbedaan paling mencolok mungkin adalah kenyataan bahwa kejahatan organisasi (kerah putih) umumnya terjadi dalam proses yang seharusnya merupakan bisnis yang sah atau urusan pemerintah.
Kejahatan kerah putih atau organisasi, dengan demikian paling sering terjadi sebagai tindak kriminal dalam bentuk penyimpangan dari kegiatan bisnis yang sah. Sementara kejahatan terorganisasi merupakan suatu kegiatan yang merupakan usaha kejahatan yang terus-menerus yang beroperasi untuk mencari keuntungan terutama dari kegiatan tersebut.
Dasar hukum :
1.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
3.Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
4.Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP.
Putusan :
1.Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1431/ Pid.B/2015/PN.Jkt.Sel.
Referensi:
1.Black’s Law Dictionary 9th Edition;
2.Jay S. Albanese. 2016. Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime). Jakarta: Prenadamedia Group;
Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana (Asset Recovery).
4.R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.( Tim )