MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID |JAKARTA – Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Peduli Nusantara jakarta berpendapat bahwa bank memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian dan pembangunan nasional suatu negara.
Sebagai financial intermediary, bank sebagai lembaga perantara bagi pihak yang berkelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan dana (lack of funds).
Karena fungsi ini, bank memiliki tugas untuk mengelola dana masyarakat dengan menghimpun dan menyalurkannya kepada masyarakat.
Penyaluran yang dimaksud dilakukan dalam bentuk produk dan jasa layanan perbankan, salah satunya dalam bentuk kredit.
Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, kredit didefinisikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Sebagai salah satu produk perbankan, dana yang disalurkan dalam bentuk kredit ini bersumber dari dana yang dihimpun dari masyarakat.
Maka dari itu, penting bagi bank untuk menjaga kepercayaan masyarakat agar masyarakat menyimpan dananya di bank.
Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, semakin banyak produk dan jasa layanan perbankan yang ditawarkan untuk memberikan kemudahan bagi para nasabah dalam bertransaksi.
Namun, sayangnya banyak pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menyalahgunakan hal ini dengan melakukan tindakan curang sehingga mengakibatkan kerugian tidak hanya bagi pihak bank, tetapi juga bagi nasabah dan negara.
Salah satu tindakan kecurangan berkaitan dengan kredit yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut dikenal sebagai kasus kredit fiktif.
Apa yang dimaksud dengan kredit fiktif………..
Bagaimana hukum mengatur mengenai hal ini ?
Apa Itu Kredit Fiktif.
Kredit fiktif diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan pelaku yang menempatkan dirinya sebagai calon pemegang kredit palsu dengan menggunakan identitas dan informasi palsu untuk memperoleh fasilitas dari bank.
Pada kasus ini, berkas yang dipersyaratkan tersedia namun nasabahnya tidak ada dikarenakan pemohon kredit menggunakan identitas palsu, yang dalam hal ini adalah identitas nasabah lain yang digunakan tanpa diketahui oleh pemilik identitas bersangkutan.
Apabila merujuk pada ketentuan mengenai syarat sah perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, tentunya kredit fiktif ini tidak memenuhi persyaratan tersebut.
Hal ini dikarenakan identitas yang digunakan oleh pihak nasabah pemohon kredit bukan merupakan identitas asli sehingga tergolong sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Perlindungan Hukum Bagi Nasabah pada Kasus Kredit Fiktif
Merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, pihak intern (pegawai bank) dan nasabah palsu yang memohon kredit memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab kepada nasabah yang identitasnya dipakai tanpa izin pada kredit fiktif.
Hal tersebut wajib dipenuhi oleh pegawai bank bersangkutan dikarenakan pegawai bank tersebut dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum yang dalam hal ini melakukan pencatatan palsu, seperti memalsukan data-data pemohon kredit sehingga berakibat bagi nasabah yang identitasnya dipakai untuk menanggung resiko kelak dikemudian hari.
Kemudian apabila merujuk pada ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata, bank juga memiliki tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawainya mengingat hubungan bank dengan nasabah adalah hubungan atasan dan bawahan.
Oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 1365 jo. 1367 KUHPerdata, maka pihak bank dan pegawai bank bersangkutan wajib memberikan ganti rugi kepada nasabah yang identitasnya dipakai dalam kredit fiktif.
Lebih lanjut, UU Perlindungan Konsumen juga turut mengatur hak-hak konsumen secara lebih terperinci sebagaimana dalam Pasal 4 huruf c, yaitu hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Namun dalam kasus kredit fiktif, tentunya penyalahgunaan identitas nasabah tanpa seizin nasabah bersangkutan tergolong sebagai perbuatan yang tidak jujur sehingga bertentangan dengan pengaturan ketentuan ini.
Maka dari itu, kewajiban pelaku usaha yang dalam hal ini adalah bank sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf f UU Perlindungan Konsumen adalah memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
Namun sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (4) UU Perlindungan Konsumen, pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha tidak menghapuskan kemungkinan tuntutan pidana apabila dapat dibuktikan lebih lanjut terkait adanya unsur kesalahan.
Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen, nasabah sebagai konsumen yang dirugikan dapat menempuh langkah hukum baik melalui pengadilan ataupun diluar pengadilan.
Dalam hal ini, konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran.
Referensi :
1.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ( Arthur / Red )