MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID | Lampung – Sejumlah warga dari tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha mulai mendatangi Posko Kelompok Kerja (Pokja) Forkopimda untuk menerima tali asih. Selain itu, izin memanen tanaman mereka di lahan PT Bumi Sentosa Abadi (PT BSA) (Lampungpro, 25/09/23).
Sementara itu, Pulau Rempang, Riau, akan disulap menjadi Rempang Eco City dan menjadi lokasi pabrik perusahaan produsen kaca China yang berkomitmen membangun pabrik pengolahan pasir kuarsa senilai US$11,5 miliar atau setara Rp 175 triliun.
Menanggapi dua kasus lahan di atas, Andi Surya, Akademisi UMITRA yang juga pengamat agraria, kasus lahan seperti ini banyak terjadi di republik ini, di dalamnya sering terjadi ketidakadilan, ada potensi melanggar amanat UU Pokok Agraria No. 5/1960 beserta regulasi turunannya, “Khusus kasus Anak Tuha Lampung tengah dan Pulau Rempang Riau, boleh saya katakan, ini fenomena dari perlawanan rakyat versus oligarki yang cenderung didukung pemerintah”, sebut mantan anggota DPD RI dan DPRD Lampung ini
“Ini ibarat pertarungan dalam kisah raksasa Goliath melawan Daud. Daud melempar sebuah batu ke dahi Goliath, dan si raksasa itu jatuh ke tanah. Tuhan membantu Daud mengalahkan Goliat tanpa pedang atau baju zirah, dalam kisah itu”, Perumpamaan oleh Andi Surya.
Dilanjutkannya, ketika rakyat mulai bereaksi atas kesewenangan oligarki dalam menguasai lahan, padahal secara hukum, hak-hak adat masyarakat masih melekat di dalamnya, pemerintah semestinya menghormati hak-hak adat ulayat ini sebelum menerbitkan izin, “Ironinya, ketika masyarakat adat belum bereaksi, pemerintah seolah berpihak kepada oligarki dengan memberi izin berupa; hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan, tanpa berhati-hati untuk menelaah histori status agraria lahan masyarakat adat tersebut”, urai Andi Surya.
“Namun di sisi lain, manakala masyarakat pemilik lahan mulai bergerak dalam demo dan protes didukung LSM, pengamat agraria dan tokoh-tokoh politik, pemerintah mulai membuka ruang komunikasi, gejala ini menurut saya kurang efektif dalam meredam kasus-kasus lahan selanjutnya yang melibatkan oligarki atau institusi pemerintah dalam merencanakan pemanfaatan lahan, model penyelesaian seperti ini kemungkinan akan terus berlanjut dan tidak produktif”, urai akademisi yang juga Ketua Yayasan Universitas Mitra Indonesia ini.
Dilanjutkannya, Andi Surya memberi saran; “Pertama, pastikan sebelum pemerintah mengeluarkan izin pengelolaan lahan lakukan telaah kajian hukum tanah dan sosiologi keagrariaan atas lahan yang akan dieksekusi sehingga mengurangi dampak konflik dengan rakyat, kedua, sudah waktunya UUPA No 5/1960 diubah sesuai kebutuhan zaman kini karena UUPA dibuat tahun 1960 saat Presiden Soekarno berkuasa”.
“Ketiga, soal keekonomian, sebelum pemerintah ada, secara sosiologis lahan-lahan ini merupakan milik masyarakat adat yang telah dihuni dan dikelola ratusan tahun lalu, itu adalah hak-hak rakyat yang harus dihormati dan diganti rugi sesuai keekonomian masa kini bukan sekedar penggantian tali asih atau ganti tanam tumbuh yang kurang adil itu”, lanjut Andi Surya
Terkait lahan di Kecamatan Anak Tuha, Lampung Tengah, Andi Surya memberi tanggapan; “Saya melihat masih ada dominasi perusahaan swasta atas lahan-lahan yang dikelola masyarakat, contohnya; perusahaan memberi izin panen dan tali asih melalui Pokja Forkompimda yang dananya disiapkan perusahaan, kelihatannya seakan-akan Pokja ini wakil dari perusahaan”, telaah Andi Surya.
“Ada baiknya selain dari unsur pemerintah, Pokja diisi juga dari unsur masyarakat dan para tetua kampung yang memahami histori lahan Anak Tuha ini”, sebut Andi Surya.
“ini untuk menghindari subjektitas, sehingga kebijakan izin panen dan tali asih atau ganti rugi lebih berkeadilan, dan selanjutnya pemerintah harus meneliti hak atas lahan yang di kelola perusahaan ini, jika terdapat ketidaksesuaian maka perusahaan harus dipinalti”, urainya sambil menutup pembicaraan.
(Suf fpii, Tim Red )
Sumber realise Forum Pers Independent Indonesia Prov. Lampung