MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID | JAKARTA – Absurditas Demokrasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), absurd adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak masuk akal atau mustahil. Dalam bahasa gaul, absurd kata ini mengacu pada sesuatu yang tidak logis atau bahkan bertentangan dengan kenyataan. Kata Absurd ini oleh anak-anak mileneal seringkali di medsos digunakan dalam konteks humor atau ironi, (humor) kata ini juga seringkali digunakan untuk mengekspresikan ketidaksetujuan atau kebingungan terhadap suatu situasi atau pernyataan yang tidak masuk akal.
Dalam konteks peristiwa politik akhir-akhir ini, menurut saya seringkali menemukan situasi yang saya anggap absurd. Katanya dalam memilih calon pemimpin itu harus kredibel, terpercaya, anti korupsi, Nir politik identitas, berpengalaman, jelas track recordnya, bagus kinerjanya, tidak punya beban masa lalu, dan seterusnya. Nah, seharusnya cukup mudah untuk menerapkan dan membandingkan variabel-variabel ini di antara tiga peserta kontestan tersebut, bukankah begitu?
Namun, dalam kenyataannya, hasil survei seringkali tidak mencerminkan keunggulan pasangan calon yang dianggap lebih baik secara logika. Sebagai contoh, menurut peniliaian saya, meskipun pasangan Ganjar-Mahfud ini secara faktual unggul jauh terhadap para pesaingnya, hasil survei tidak selalu merefleksikan keunggulan mereka dengan jelas dan signifikan.
Dalam kasus seperti ini, barangkali para pemilih di Indonesia ini cenderung lebih memilih kandidat berdasarkan perasaan pribadi, keyakinan, dan identitas mereka, bahkan jika logika dan fakta mendukung secara gamblang sekalipun mungkin sekali akan di nafikan. Nah, ini lah yang saya maksud dari judul tulisan ini tentang Absurditas Demokrasi. Bahwa hal-hal demikian ini adalah bagian dari kompleksitas sistem demokrasi, di mana pengaruh emosi dan sentimen dapat mempengaruhi atau bahkan mengalahkan pertimbangan logis dalam pemilihan pemimpin
Kebanyakan para pemilih Indonesia mungkin merasa lebih terhubung secara emosional dengan seorang kandidat tertentu yang dirasa mampu menyalurkan atau memahami perasaan dan kekhawatiran mereka, meskipun secara logis kandidat lain mungkin memiliki track record yang lebih baik, atau istilahnya kalau Nokia, Connecting People, yang ini Connecting Emotion.
Saya juga meletakan Sentimen Identitas sebagai salah satu faktor utama dalam memilih calon pemimpin. Pemilih kita cenderung mendukung calon yang mereka anggap mewakili nilai-nilai atau identitas mereka, bahkan jika itu tidak selalu sejalan dengan logika atau fakta sekalipun.
Faktor terakhir dalam tulisan ini, saya akan katakan faktor kepentingan, yakni tentang Isu Pribadi, bahwa isu pribadi adalah lebih penting dengan memprioritaskan isu-isu yang secara langsung mempengaruhi kehidupan mereka, bahkan dengan mengabaikan isu-isu yang lebih besar atau lebih penting secara umum.
Sebagai kesimpulan, meskipun logika, rekam jejak, dan fakta dapat memberikan pandangan yang lebih obyektif dalam memilih calon pemimpin, tampaknya faktor-faktor emosional dan personal ternyata masih menjadi faktor yang signifikan dalam preferensi politik.
Untuk itu dalam memahami dan mengatasi fenomena ini, mungkin ada ruang untuk meningkatkan literasi politik dan kesadaran Masyarakat kita, sehingga pemilihan pemimpin lebih didasarkan pada pemahaman logika yang mendalam dan kesadaran akan kepentingan bersama, bukan hanya sentimen pribadi di jadikan rujukan.(Wahyu w/tR32/red)