MEDIAINVESTIGASIMABES.CO.ID | SIMALUNGUN – Pemekaran kabupaten dan desa memang bisa menjadi akar permasalahan konflik pertanahan, terutama jika prosesnya tidak dilandasi dengan aturan yang jelas dan transparan.
Pemekaran seringkali memicu tumpang tindih hak kepemilikan tanah dan sengketa antara warga yang berasal dari wilayah lama dengan warga wilayah baru.
Tidak sedikit pemilik tanah yang sah, bahkan dengan SHM di tangan, tiba-tiba menerima surat somasi dari pihak lain yang mengaku memiliki hak atas tanah yang ditempati lengkap dengan sertifikat baru yang juga dikeluarkan oleh lembaga yang sama.
- Ironisnya, mereka kemudian mendapati tanahnya telah dikuasai oleh pihak ketiga, yang kerap memiliki koneksi kuat dengan elite tertentu.
- Hal ini bukan sekadar pelanggaran administratif melainkan bentuk nyata dari perampasan hak yang dilindungi konstitusi.
- Pasal 33 UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Didalam konteks seperti ini negara berkewajiban menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah bagi setiap warganya.
Didalam salah satu kasus yang jumpai dilapangan di Sumatera Utara, SHM yang telah diterbitkan melalui Keputusan Kanwil Badan Pertanahan Nasional justru menjadi tidak berdaya saat mafia tanah diduga berhasil mengakses sistem administrasi pertanahan.
Mereka bahkan dapat memaksa pelaksanaan Putusan Kasasi No. 546 K/TUN/2022 tanpa melalui prosedur permohonan Penetapan Eksekusi TUN.
Saatnya negara hadir tidak hanya sebagai simbol atau dengan sebutan di atas kertas.
Reformasi sistem pertanahan harus menjadi prioritas nasional, dengan pemberantasan mafia tanah sebagai agenda utama.
Sertifikat Hak Milik harus kembali menjadi simbol kehormatan dan jaminan hak yang tidak bisa diganggu gugat oleh kekuatan mana pun baik yang berbaju hukum maupun yang berselimut kuasa.
Hukum, dalam idealismenya, adalah perisai terakhir bagi rakyat kecil. Seharusnya menjadi benteng keadilan, penengah yang objektif di tengah konflik, dan pelindung ketika hak-hak warga diinjak.
Tumpang tindih hak kepemilikan :
- Pemekaran wilayah bisa menyebabkan kesulitan dalam menentukan batas-batas kepemilikan tanah, terutama jika tidak ada dokumentasi yang memadai atau ada perbedaan pendapat tentang hak-hak yang ada sebelumnya.Â
Perubahan status hukum tanah :
- Setelah pemekaran, status hukum tanah yang sebelumnya mungkin tidak jelas atau tidak terdaftar bisa menjadi lebih rumit, sehingga memicu sengketa.Â
Peningkatan konflik :
- Pemekaran bisa memicu konflik antar warga karena adanya persaingan atas sumber daya alam, termasuk tanah, yang menjadi lebih terbatas di wilayah baru.Â
Kurangnya kepastian hukum :
- Pemekaran yang tidak terencana dengan baik bisa membuat warga tidak memiliki kepastian hukum terkait kepemilikan tanah mereka, yang bisa memicu sengketa.Â
Persaingan sumber daya :
- Persaingan atas sumber daya alam, termasuk tanah, bisa memicu konflik.
Tindak pidana:
- Tindak pidana seperti penggelapan tanah atau penyerobotan bisa memicu konflik.
Solusinya adalah :
- Untuk mencegah atau menyelesaikan konflik pertanahan yang disebabkan oleh pemekaran, pemerintah perlu:
Menetapkan batas wilayah yang jelas :
- Memastikan batas-batas wilayah baru ditetapkan dengan jelas dan disepakati oleh semua pihak.
Menertibkan administrasi pertanahan :
- Memastikan semua tanah terdaftar dan memiliki kepastian hukum.
Melakukan edukasi dan sosialisasi :
- Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang aturan pertanahan dan hak-hak mereka.


Memperbaiki sistem penyelesaian sengketa :
- Menyediakan jalur penyelesaian sengketa yang mudah, cepat, dan terjangkau. ( ARTHUR NOIJA SH/Tim)